Rabu, 30 Maret 2011

KEP. 255/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 255/MEN/2003
TENTANG
TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN
LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka perlu ditetapkan tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit;
  2. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat :
  1. Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 121; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
  2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
  3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan :
  1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
  2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1.      Lembaga kerjasama bipartit yang selanjutnya disebut LKS Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

2.      Pengusaha adalah:
a.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.  orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3.      Perusahaan adalah:
a.    setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.    Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5.      Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
6.      Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.



BAB II
FUNGSI DAN TUGAS
Pasal 2
Fungsi LKS Bipartit adalah :
  1. sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah antara pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan;
  1. sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.
Pasal 3
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 LKS Bipartit mempunyai tugas :
  1. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan;
  2. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh berkaitan dengan kesejahteraan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha;
  3. melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial di perusahaan;
  4. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pengusaha dalam penetapan kebijakan perusahaan;
  5. menyampaikan saran dan pendapat kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN
Pasal 4
(1)   Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit.
(2)   LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh.
Pasal 5
Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut:
  1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan semua pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut, maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit.
  2. Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis.
  3. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara proporsional.
  4. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
  5. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit secara proporsional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
Pasal 6
Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melaksanakan pertemuan untuk :
  1. membentuk LKS Bipartit;
  2. menetapkan anggota LKS Bipartit.
Pasal 7
Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut:
  1. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
  2. anggota lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
  3. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh di perusahaan.


Pasal 8
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Untuk dapat dicatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan tertulis baik langsung maupun tidak langsung dengan dilampiri berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan nomor bukti pencatatan.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 9
Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh) orang.
Pasal 10
(1)   Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris dan anggota.
(2)   Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara wakil pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
Pasal 11
(1)   Masa kerja keanggotaan LKS Bipartit 2 (dua) tahun.
(2)   Pergantian keanggotaan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.
(3)   Pergantian keanggotaan LKS Bipartit diberitahukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 12
Masa jabatan keanggotaan LKS Bipartit berakhir apabila:
  1. meninggal dunia;
  2. mutasi atau keluar dari perusahaan;
  3. mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;
  4. diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;
  5. sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam keanggotaan lembaga.
BAB VI
MEKANISME KERJA
Pasal 13
(1)   LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
(2)   Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja/buruh atau dari pengurus LKS Bipartit.
(3)   LKS Bipartit menetapkan dan membahas agenda pertemuan sesuai kebutuhan.
(4)   Hubungan kerja LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan bersifat koordinatif, konsultatif, dan komunikatif.
BAB VII
P E M B I N A A N
Pasal 14
(1)   Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota bersama dengan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh mengadakan pembinaan terhadap LKS Bipartit.
(2)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.    sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit;
b.    memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan LKS Bipartit.
BAB VIII
PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN
Pasal 15
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS Bipartit dibebankan kepada pengusaha.
Pasal 16
Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.


BAB IX
P E N U T U P
Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-328/MEN/1986 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA

Selasa, 29 Maret 2011

MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
v  Manajemen Adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

v  Fungsi Manajemen ( G.R TERRY ) :
       a. Planning                                                       
       b. Organizing
       c. Actuating
       d. Controlling

v  Organisasi ialah suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.

v  MSDM ( Manajemen Sumber Daya Manusia ) ialah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat.

v  Tujuan MSDM
a)     Perusahaan    : Bertujuan agar perusahaan mendapatkan rentabilitas laba                                    yang lebih besar dari persentase tingkat bunga bank.
b)     Karyawan        : Bertujuan mendapatkan kepuasan dari pekerjaannya.
c)     Masyarakat     : Bertujuan memperoleh barang atau jasa yang baik dengan                                   harga yang wajar dan selalu tersedia di pasar,sedang                                               pemerintah selalu berharap mendapatkan pajak.

v  Fungsi MSDM ( Manajemen Sumber Daya Manusia ) :
a.     Perencanaan (Planning) 
Merencanakan tenaga kerja secara efektif serta efisien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan.
b.     Pengorganisasian (Organizing)
Kegiatan untuk mengorganisasi semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja,hubungan          kerja,delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi    dalam bagan organisasi.
c.    Pengarahan (Actuating)
       Kegiatan mengarahkan semua karyawan,agar mau bekerja sama dan         bekerja efektif serta efisien dalam            membantu tercapainya tujuan      perusahaan,karyawan,dan masyarakat.
d.    Pengendalian (Contolling)
       Kegiatan mengendalikan semua karyawan.
e.    Pengadaan (Procurement)   
       Proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, konseptual, dan moral karyawan yang sesuai  dengan kebutuhan perusahaan.

f.     Pengembangan (Development)
       Proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.
g.    Kompensasi
       Pemberian balas jasa langsung ( direct ) dan tidak langsung ( indirect), uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada perusahaan.
h.    Pengintegrasian (Integration)
       Kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan.
i.     Pemeliharaan (Maintence)
Kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan            kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama sampai pensiun.
j.     Kedisiplinan
Merupakan fungsi MSDM yang terpenting dan kunci    terwujudnya tujuan karena tanpa disiplin yang baik sulit terwujud tujuan yang maksimal.
k.    Pemberhentian (Separation)
Putusnya hubungan kerja seseorang dari perusahaan Pemberhentian ini disebabkan oleh    keinginan      karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pensiun, dan sebab-sebab lainnya.






























BAB II
PEMBAHASAN
PHK ( PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA )

2.1  Pengertian PHK
a.  PHK : Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
               Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan pekerja. Karenanya, selama ini singkatan ini memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
                        Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja             tidak mengetahui hak mereka.
               Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
b.  Pekerja kontrak dan tetap
Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut. Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.

2.2  Alasan/Sebab PHK :

Terdapat bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Selain itu:
a.      Selesainya PKWT
b.     Pekerja melakukan kesalahan berat
c.      Pekerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan
d.     Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
e.      Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya
f.       Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
g.     PHK Massal - karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.
i.       Perusahaan pailit
j.       Pekerja meninggal dunia 
k.      Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
l.       Pekerja sakit berkepanjangan
m.    Pekerja memasuki usia pensiun

2.3  Macam - macam PHK

a)  PHK Sukarela
            Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa             paksaan/intimidasi.Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri,   pekerja harus memenuhi syarat:
(i)        mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya,
(ii)      tidak ada ikatan dinas,
(iii)    tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
            Undang-undang melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri. Namun dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga. Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
            Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.
b)  PHK Tidak Sukarela
* PHK oleh Pengusaha
Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan. Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).
o    Undang-Undang tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan:
a.     Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.     Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan      yang berlaku;
c.      Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.     Pekerja menikah;
e.     Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.       Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja      lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam PK, PP, atau PKB;
g.     Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang      diatur dalam PK, PP/PKB;
h.     Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.       Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.       Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit  karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
o    Kesalahan Berat (eks Pasal 158)
Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.
Yang termasuk kesalahan berat ialah:
a.  Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.  Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.  Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.  Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.  Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja    atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.   Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
g.  Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h.  Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
i.    Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
* Permohonan PHK oleh Pekerja
Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti :
a.      Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja
b.      Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.      Ttidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih
d.      Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja;
e.       memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan
f.       memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
*   PHK oleh Hakim
PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.
*   PHK karena Peraturan Perundang-undangan
Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.

2.4  Mekanisme PHK

Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari      PHK.Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini,PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI).      Hal-hal tersebut adalah :
a.              Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.  Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c.   Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d.              Pekerja meninggal dunia.
e.  Pekerja ditahan
f.    Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK
     Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.

2.5  Perselisihan PHK

Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan      hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK      timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai      pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
       2.5.1   Penyelesaian Perselisihan PHK
                   Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
                   1. Perundingan Bipartit
                        Forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat PerjanjianBersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada             PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya             mendaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu     pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin        harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.                    
2. Perundingan Tripartit
            Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh             para pihak:
                        a.  Mediasi
                            Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
                        b. Konsiliasi
                            Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
                        c.  Arbitrase
                            Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang         menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
                   3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan      Hubungann Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya:
                        (i)Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak,
                        (ii) perselisihan kepentingan
                        (iii) perselisihan antar serikat pekerja.
                   4. Kasasi (Mahkamah Agung)
                        Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan      kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

2.6  Kompensasi PHK

       Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon             (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

       a.    Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
o  Masa Kerja Uang Pesangon
* Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
* Masa kerja 1 - 2 tahun,  2 (dua) bulan upah;
* Masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
* Masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
* Masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
* Masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
* Masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
* Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
* Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
b.    Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai       berikut :
o  Masa Kerja UPMK
* Masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
* Masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
* Masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
* Masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
* Masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
* Masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
* Masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
* Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

c.    Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
a.  Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.  Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana      pekerja/buruh diterima bekerja;
c.   penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.  hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

2.7  Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon

Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon tergantung alasan PHK sebagai berikut:
       2.7.1   Alasan PHK Besaran Kompensasi
·       Mengundurkan diri (kemauan sendiri) ­-Berhak atas UPH
·       Tidak lulus masa percobaan ­ -Tidak berhak kompensasi
·       Selesainya PKWT ­ -Tidak Berhak atas Kompensasi
·       Pekerja melakukan kesalahan berat ­- Berhak atas UPH
·       Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja           Bersama, atau Peraturan Perusahaan- ­ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha ­- 2 kali UP, 1 kali UPMK,dan UPH
·       Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya- ­ Tergantung      kesepakatan
·       Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) ­- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- ­ 1 kali UP, 1 kali           UPMK, dan UPH
·       PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. - 2 kali UP, 1 kali   UPMK, dan UPH
·       Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau        melanjutkan hubungan kerja- ­ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau      melanjutkan hubungan kerja ­- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       Perusahaan pailit­ ­- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       Pekerja meninggal dunia-­ ­ 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
·       Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12   bulan) ­- 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
·       Pekerja memasuki usia pensiun ­- Sesuai Pasal 167 UU 13/2003
·       Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)- ­             1 kali UPMK dan UPH
·       Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah ­- 1 kali UPMK dan UPH


2.7.2   Contoh
A yang tinggal di jakarta telah bekerja selama sepuluh tahun di PT B yang juga berdomisili di Jakarta, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja.

Maka, ia berhak atas kompensasi sebesar:
UP = Rp3.000.000,- x 1x9 = 27.000.000, (3 juta Dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah)
UPMK= Rp3.000.000 x1x 4= 12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun
UPH = 15% (uang penggantian perumahan dan pengobatan) x (27 juta +12 juta)=Rp5.850.000,-
Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH 27.000.000+ 12.000.000 + 5.850.000 = 44.850.000,-



























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya manusia.Istilah pemberhentian sinonim dengan separation,pemisahan,atau pemutusan hubungan kerja ( PHK ) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.Fungsi Pemberhentian harus mendapat perhatian yang serius dari manajer perusahaan,karena telah diatur oleh undang-undang dan memberikan risiko bagi perusahaan maupun untuk karyawan bersangkutan.Pemberhentian harus sesuai dengan undang-undang No.12 Tahun 1964 KUHP dan seizin P4D atau P4P dengan keputusan pengadilan.Pemberhentian juga harus memperhatikan pasal 1630 ayat 1 KUHP yaitu mengenai
“ Tenggang waktu saat dan izin pemberhentian “. Perusahaan yang melakukan pemberhentian akan mengalami kerugian karena karyawan yang dilepas membawa biaya penarikan,seleksi,pengembangan,dan proses produksi berhenti.

Karyawan yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis,sosiologis,ekonomis,dan kewajibannya.Manajer dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan ruginya,apalagi kalau diingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara baik-baik, sudah selayaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang baik pula.

Pemberhentian harus didasarkan atas Undang – undang No. 12 Tahun 1964 KUHP, berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaa, misalnya memberikan uang pensiun dan pesangon.