Jumat, 01 April 2011


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

    Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia mengalami suatu kondisi dimana terjadi pemusatan/ sentralisasi dan penyeragaman dalam sistem pemerintahan. Seruan- seruan untuk kehidupan yang demokratis diabaikan oleh penguasa. Segala proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit politik. Pemerintah menjadi sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang- wenangan/ otoriter dan cenderung represif. Keberhasilan di bidang pembangunan dan ekonomi membuat pemerintah pusat semakin percaya kepada sistem sentralisasi dan penyeragaman. Birokrasi pun dirancang untuk berkiblat dan memenuhi kebutuhan pemerintah pusat sehingga menjadi tidak inovatif dan tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal tersebut berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, disaat pemerintah pusat mengalami keterbatasan ternyata birokrasi menjadi kelimpungan untuk menopang peran pusat. Kegagalan- kegagalan pemerintah untuk mengatasi krisis tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Kondisi tersebut menunjukkan kerapuhan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga diperlukan perubahan kepemimpinan dan reformasi di segala bidang kehidupan.












1.2.  Identifikasi Masalah

    Di era reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi, masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance) Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain:
1.  Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan;
2.  Terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme);
3.  Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang.
Selain pendapat diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari :
1.     Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN,
2.      Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur;
3.     Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai;
4.     Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja;
5.     Rendahnya kualitas pelayanan umum;
6.     Rendahnya kesejahteraan PNS;
7.     Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
       
1.3.  Teori Permasalah
    Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah fungsi hukum tata pemerintahan dalam mewujudkan pemerintahan yag bersih dan berwibawa?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Hukum
    Dalam berbagai literatur dapat ditemukan berbagai pengertian/ definisi tentang hukum. Pengertian- pengertian tersebut dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain:
1. Sudut pandang etimologis/ asal kata:
a. Hukum:
Kata “hukum” berasal dari bahasa adalah Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “alkas”, yang selanjutnya diambil alih bahasa Indonesia menjadi “hukum”. Didalam pengertian “hukum” terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
b. Recht:
Kata “Recht” berasal dari kata “Rectum” dalam bahasa latin yang mempunyai arti “bimbingan” atau “tuntutan” atau “pemerintahan”. Kata “rectum” bertalian dengan kata “rex” yang dapat diartikan sebagai “raja” atau “orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah”. Kata “rectum” juga dapat dihubungkan dengan kata “directum” yang berarti “orang yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan”.
Kata “recht” atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh kewibawaan. Seseorang yang membimbing atau memerintah harus mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian kata “recht” mengandung pengertian kewibawaan dan hukum ditaati orang secara sukarela.
Dari kata “recht” timbul istilah “gerechtigheid” (istilah dalam bahasa Belanda) atau “gerechtigkeit” (istilah dalam bahasa Jerman) yang berarti “keadilan” sehingga hukum juga mempunyai kaitan yang erat dengan keadilan. jadi dengan demikian “recht” dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting, yaitu kewibawaan dan keadilan.
c. Ius:
Kata “ius” berasal dari bahasa Latin yang berarti “hukum”. Kata “ius” berakar dari kata “iubere” yang berarti “mengatur” atau “memerintah”. Kata “ius” bertalian dengan kata “iustitia” atau “keadilan”. Dalam mitologi Yunani, “iustitia” adalah nama dewi keadilan. Dewi keadilan tersebut digambarkan sebagai seorang wanita dengan kedua mata tertutup, tangan kirinya memegang neraca sedangkan tangan kanannya memegang pedang. Gambaran tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
§ Kedua mata tertutup:
Dalam mencari dan menerapkan keadilan tidak boleh memandang bulu.
§ Neraca:
Dalam mencari dan menerapkan keadilan harus ada kesamaan atau tidak berat sebelah.
§ Pedang:
Lambang dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum, jika perlu dengan bentuk hukuman mati.
Jadi secara etimologi dapat disimpulkan bahwa “ius” yang berarti “hukum” bertalian erat dengan “iustitia” yang berarti “keadilan” yang terdiri dari unsur- unsur wibawa, keadilan dan tata kedamaian.
d. Lex:
Kata “lex” berakar dari kata “lesere” dalam bahasa Latin yang berarti “mengumpulkan orang- orang untuk diberi perintah”, disini terkandung makna wibawa dan otoritas sehingga kata “lex” yang berarti hukum sangat berkaitan erat dengan perintah dan wibawa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
§ Pengertian hukum berkaitan erat dengan keadilan;
§ Pengertian hukum berkaitan erat dengan kewibawaan;
§ Pengertian hukum berkaitan erat dengan ketaatan/ orde yang selanjutnya menimbulkan kedamaian;
§ Pengertian hukum berkaitan erat dengan peraturan dalam arti peraturan yang berisi norma.
2. Sudut pandang pendapat para pakar:
a. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan- peraturan atau kaedah- kaedah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
b. Prof. Dr. P. Borst:
Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
c. Prof. Dr. van Kan:
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
d. Prof. Mr. Dr. L.J van Apeldoorn:
Hukum adalah peraturan perhubungan hidup antara manusia.


2.2.  Hukum Tata Pemerintahan
    Dalam ilmu hukum, hukum tata pemerintahan disebut juga sebagai hukum tata usaha negara atau hukum adminitsrasi negara. Hukum tata pemerintahan mempunyai pengertian/ definisi antara lain:
1. Pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak, yaitu hubungan yang timbul dari kegiatan administrasi antara bagian- bagian negara dan antara negara dengan masyarakat.
2. Pendapat R. Soeroso, S.H:
Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabat- pejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
3. Pendapat J.M Baron de Gerando:
Hukum yang mengatur hubungan timbal- balik antara pemerintah dan rakyat.
4. Pendapat C. van Vollenhoven:
Merupakan pembatasan terhadap kebebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah; akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi megandung arti pula, bahwa mereka yang harus taat kepada pemerintah menjadi dibebani pelbagai kewajiban yang tegas bagaimana dan sampai dimana batasnya, dan berhubung dengan itu, berarti juga, bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
2.3.  Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa
    Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang baik). Terdapat beberapa penafsiran mengenai pengertian Good Governance, antara lain:
1. Definisi dari UNESCAP (United Nations Economic and Social  Comission for
Asia and the Pacific/ Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Sosial dan Ekonomi Asia Pasifik):
Good governance is an indeterminate term used in development literature to describe how public institutions conduct public affairs and manage public resources in order to guarantee the realization of human rights. Governance describes “the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented)”. The term governance can apply to corporate, international, national, local governance or to the interactions between other sectors of society.
Terjemahan bebas:
Good governance adalah suatu pengertian yang tidak ditentukan, (pengertian tersebut) digunakan dalam pengembangan kepustakaan untuk menggambarkan bagaimana institusi- institusi publik melaksanakan urusan- urusan kemasyarakatan dan mengelola sumber daya (milik) umum dalam rangka menjamin realisasi hak- hak asasi. Pemerintahan menggambarkan proses pembuatan keputusan dan proses pelaksanaannya (atau proses tidak dilaksanakannya). Istilah pemerintahan dapat dipakai untuk menunjuk kepada korporat, internasional, nasional, pemerintahan daerah atau pada hubungan- hubungan antar sektor- sektor lain dalam masyarakat”.
2.  Definisi dari World Bank (Bank Dunia):
Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
3.  Pendapat dari Mushtaq Husain Khan:
The concept of “good governance” often emerges as a model to compare ineffective economies or political bodies with viable economies and political bodies. Because the most “successful” governments in the contemporary world are liberal democratic states concentrated in Europe and the Americas, those countries’ institutions often set the standards by which to compare other states’ institutions”.
Terjemahan bebas:
Konsep good governance seringkali dijadikan sebagai model untuk membandingkan badan- badan ekonomi atau politik yang tidak efektif dengan badan- badan ekonomi atau politik yang tampaknya menjanjikan. Karena pemerintahan- pemerintahan yang paling “sukses” di dunia dewasa ini adalah negara- negara demokratis liberal yang terpusat di Eropa dan Amerika, maka institusi- institusi di negara- negara tersebut seringkali dijadikan standar untuk membandingkan institusi- institusi di negara- negara lain.
4.  Definisi yang umum di masyarakat:
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
Menurut UNESCAP, Konsep Good Governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa) mempunyai 8 ciri- ciri umum, antara lain :
1. Partisipasi (Participation):
“Participation by both men and women is a key cornerstone of good governance. Participation could be either direct or through legitimate intermediate institutions or representatives. It is important to point out that representative democracy does not necessarily mean that the concerns of the most vulnerable in society would be taken into consideration in decision making. Participation needs to be informed and organized. This means freedom of association and expression on the one hand and an organized civil society on the other hand”.
Terjemahan bebas:
“Partisipasi oleh pria dan wanita adalah pedoman kunci good governance. Partisipasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui perwakilan- perwakilan atau institusi- institusi perantara yang sah. Penting untuk ditunjukkan bahwa dalam demokrasi perwakilan tidak selalu berarti kekuatiran pihak- pihak yang paling lemah dalam masyarakat akan selalu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Partisipasi perlu untuk disebar luaskan pada masyarakat dan diorganisasi. Ini berarti kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat pada satu sisi dan masyarakat sipil pada sisi yang lain”.

2. Tegaknya hukum (Rule of law):
Good governance requires fair legal frameworks that are enforced impartially. It also requires full protection of human rights, particularly those of minorities. Impartial enforcement of laws requires an independent judiciary and an impartial and incorruptible police force”.
Terjemahan bebas:
Good governance memerlukan kerangka kerja hukum yang adil yang penegakan hukumnya dilaksanakan secara menyeluruh dan tidak sepotong- sepotong. Hal tersebut juga memerlukan perlindungan penuh terhadap hak- hak asasi manusia, lebih khusus lagi kepada kaum minoritas. Penegakan hukum yang menyeluruh memerlukan peradilan yang bebas dan kepolisian yang bebas dari korupsi.
3. Transparansi (Transparency):
Transparency means that decisions taken and their enforcement are done in a manner that follows rules and regulations. It also means that information is freely available and directly accessible to those who will be affected by such decisions and their enforcement. It also means that enough information is provided and that it is provided in easily understandable forms and media”.
“Transparansi berarti bahwa keputusan- keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dalam tata cara yang sesuai dengan peraturan- peraturan dan regulasi- regulasi. Hal tersebut juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses secara langsung oleh pihak- pihak yang akan dipengaruhi oleh keputusan- keputusan dan pelaksanaannya. Hal tersebut juga berarti bahwa informasi yang cukup tersedia dan disediakan dalam bentuk dan media yang mudah untuk dipahami”.
4. Sikap tanggap (Responsiveness):
Good governance requires that institutions and processes try to serve all stakeholders within reasonable timeframe”.
Terjemahan bebas: Good governance memerlukan institusi- institusi dan proses- proses yang melayani semua pihak yang berkepentingan dalam kurun waktu yang masuk akal atau pantas.
5. Orientasi pada kesepakatan (Consensus oriented):
“There are several actors and as many view points in a given society. Good governance requires mediation of the different interests in society to reach a broad consensus in society on what is in the best interest of the whole community and how this can be achieved. It also requires a broad and long-term perspective on what is needed for sustainable human development and how to achieve the goals of such development. This can only result from an understanding of the historical, cultural and social contexts of a given society or community”.
Terjemahan bebas:
“Terdapat beberapa pelaku dan sudut pandang dalam masyarakat. Good governance memerlukan mediasi kepentingan- kepentingan dalam masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang luas tentang apa yang menjadi kepentingan paling utama seluruh anggota masyarakat dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Hal tersebut juga memerlukan suatu perspektif jangka panjang yang luas tentang apa yang diperlukan dalam pembangunan manusia yang berkelanjutan dan bagaimana mencapai tujuan- tujuan pembangunan tersebut. Kesepakatan tersebut hanya dapat dihasilkan dari pengertian dalam konteks historis, budaya dan sosial masyarakat atau komunitas”.
6. Kesetaraan dan Inklusifitas (Equity and inclusiveness):
A society’s well being depends on ensuring that all its members feel that they have a stake in it and do not feel excluded from the mainstream of society. This requires all groups, but particularly the most vulnerable, have opportunities to improve or maintain their well being”.
Terjemahan bebas:
“Suatu kestabilan masyarakat tergantung pada kemampuannya memastikan semua anggotanya merasa bahwa mereka mempunyai peranan didalamnya dan tidak merasa disisihkan dari arus utama kehidupan masyarakat. Hal tersebut mengharuskan semua anggota kelompok terutama golongan yang paling lemah mempunyai kesempatan- kesempatan untuk meningkatkan atau memelihara kestabilan”.

7. Efektifitas dan efisiensi (Effectiveness and efficiency):
Good governance means that processes and institutions produce results that meet the needs of society while making the best use of resources at their disposal. The concept of efficiency in the context of good governance also covers the sustainable use of natural resources and the protection of the environment”.
Terjemahan bebas:
Good governance berarti bahwa proses- proses dan institusi- institusi menghasilkan hal yang memenuhi kebutuhan- kebutuhan masyarakat ketika menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara tepat guna. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber- sumber daya alam secara bijaksana dan perlindungan lingkungan”.
8. Akuntabilitas (Accountability):
Accountability is a key requirement of good governance. Not only governmental institutions but also the private sector and civil society organizations must be accountable to the public and to their institutional stakeholders. Who is accountable to whom varies depending on whether decisions or actions taken are internal or external to an organization or institution. In general an organization or an institution is accountable to those who will be affected by its decisions or actions. Accountability cannot be enforced without transparency and the rule of law”.
Terjemahan bebas:
“Akuntabilitas adalah kebutuhan kunci untuk (mewujudkan) good governance. Tidak hanya institusi- institusi pemerintah tetapi juga organisasi- organisasi sektor swasta dan masyarakat sipil harus akuntabel terhadap masyarakat dan para pemegang kepentingan dalam institusi mereka. ‘Siapa yang akuntabel terhadap siapa’, bervariasi tergantung pada apakah keputusan- keputusan atau tindakan- tindakan yang diambil termasuk internal atau eksternal pada suatu organisasi atau institusi. Secara umum suatu organisasi atau institusi (seharusnya) akuntabel pada siapa yang akan dipengaruhi oleh keputusan- keputusan atau tindakan- tindakannya. Akuntabilitas tidak dapat diterapkan tanpa transparansi dan tegaknya hukum”.
2.4.  Fungsi Hukum Tata Pemerintahan dalam Mewujudkan Good          Governance  (Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa)
    Dalam mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa) terdapat beberapa hambatan utama dalam kaitannya dengan penegakan hukum, antara lain:
1.  Anggapan mengenai korupsi yang dianggap sebagai budaya sehingga sulit untuk dirubah.
2.  Masih kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam upaya mewujudkan good governance sehingga hanya menjadi slogan dan hanya menjadi wacana belaka.
    Dalam rangka mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa), hukum tata pemerintahan memegang peranan atau fungsi yang sangat penting, antara lain:
1.  Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam praktik operasionalnya, dapat dilakukan dengan cara:
a.     Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good  governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan semua kegiatan;
b.     Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.      Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
d.     Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif, dan bertanggung jawab;
e.     Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan;
f.      Peningkatan pemberdayaan penyelenggaraan antar dunia usaha dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2.  Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan good governance, terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum dalam memantau kinerja dan perilaku aparat pemerintahan. Dengan adanya suatu sistem penghargaan bagi peran serta masyarakat yang diatur dalam suatu produk hukum yang mempunyai legitimasi/ terpercaya maka diharapkan peran serta masyarakat akan meningkat.

BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
    Dalam upaya mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa) hukum tata pemerintahan mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.  Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
2.  Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan good governance, terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
    Dalam rangka mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa), selain pemberian penghargaan (reward) kepada peran serta masyarakat, pemberian penghargaan aparat pemerintah perlu untuk diberikan payung hukum. Dengan sistem pemberian penghargaan kepada peran serta massyarakat dan aparat pemerintah maka diharapkan akan terjadi peningkatan motivasi untuk mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar